Sahabat pembaca Info Honorer, sudah tahukah anda bahwa Anggota Komisi II DPR RI Hugua mengungkap sudah tidak ada solusi bagi tenaga honorer K2 yang berusia diatas 40 tahun untuk menjadi PNS. Sebab menurut PP Manajemen PNS, salah satu syarat pengangkatan CPNS yakni batasan usia maksimal 35 tahun. Sementara untuk usia 35 tahun ke atas bisa mengikuti seleksi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Sayangnya untuk Seleksi PPPK 2021 baru akan dibuka untuk tenaga pendidik saja.
“Permasalahan di NTB ini sama seperti di daerah-daerah lain, pengangkatan PNS sekarang sudah lewat seleksi yang terbuka sekali. Tetapi tetap menjadi dilema terkait tenaga honorer K2, mereka mayoritas sudah berusia diatas 35 tahun, praktis sudah tidak ada jalannya. Jalan satu-satunya tinggal revisi UU ASN. Sampai saat ini bagi honorer K2 ini solusinya tidak ada, kecuali mereka tetap outsourcing,” kata Hugua usai mengikuti pertemuan Tim Kunjungan Kerja Komisi II DPR RI di Kantor Gubernur Nusa Tenggara Barat, Senin (12/4/2021).
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), Hugua menjelaskan, hanya ada dua kategori ASN yakni PNS dan PPPK. Maka, semua tenaga honorer yang terdapat di kementerian dan pemerintahan daerah bersifat outsourcing yang bergantung pada kebutuhan masing-masing instansi. Sementara Pasal 99 ayat 2 UU ASN menyebutkan, ‘Untuk diangkat menjadi calon PNS, PPPK harus mengikuti semua proses seleksi yang dilaksanakan bagi calon PNS dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.’
Politisi PDI-Perjuangan itu mengatakan, permasalahan honorer K2 menjadi permasalahan semua pihak. Dimana, jumlah tenaga honorer K2 di seluruh Indonesia mencapai angka sekitar 400 ribu orang. Untuk itu, Komisi II sendiri sebenarnya telah meminta pemerintah untuk melakukan revisi UU ASN. Hingga saat ini, proses revisi masih dalam pembahasan dan Komisi II telah membuat panitia kerja (Panja) UU ASN. Namun, pemerintah sendiri baru menyerahkan daftar inventarisasi masalah (DIM) revisi UU ASN kepada DPR RI, 8 April lalu.
“DIM dari pemerintah baru kita terima kemarin, kita pelajari untuk dilanjutkan pembahasannya karena sudah masuk dalam Prolegnas 2021. Masalah honorer ini masalah kita semua, sebetulnya mereka ini korban banget, karena teman-temannya sudah diangkat, tetapi karena terbentur UU 5/2014 yang mewajibkan untuk menjadi ASN harus melalui proses seleksi, itu kan mereka masih terkendala umur. Se-Indonesia, jumlah K1 dan K2 masih puluhan ribu, untuk di NTB ada 16 ribu, tapi total honorer K2 se-Indonesia mencapai kurang lebih 400 ribu orang, itu pemerintah harus cari solusi,” ungkapnya.
Terkait alokasi anggaran, Hugua menjelaskan bahwa sesuai aturan yang berlaku, PPPK dibebankan pada APBD. Tetapi khusus untuk PPPK Guru, Ia memprediksi bahwa Kementerian Keuangan nantinya akan mengalokasikan melalui APBD masing-masing sesuai kuota yang diajukan pemerintah daerah, yang nantinya akan ditransfer ke daerah untuk meng-cover biaya pendaftaran dan biaya gaji.
“Namun yang non-guru yang masih belum jelas sampai saat ini. Tapi kita optimis akan adanya rekrutmen 1 juta guru PPPK. Tetapi untuk tenaga kesehatan, tenaga administrasi, dan non-guru lainnya masih harus berjuang keras, apalagi masih dalam situasi pandemi seperti sekarang ini. Di daerah-daerah seperti di Indonesia bagian timur, tenaga honorer non-guru juga tidak kalah pentingnya, karena banyak pemekaran baru yang bekerja di kantor kecamatan, puskesmas, desa-desa, itu operasionalnya oleh tenaga honorer K2. Jadi semuanya prioritas,” pungkasnya.
Sebagai informasi, istilah tenaga honorer kategori 1 (K1) dan kategori 2 (K2) bermula pada tahun 2005. Dimana, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005, dilakukan pendataan untuk tenaga honorer. Dari hasil pendataan tersebut, barulah pegawai honorer yang disebut K1 yakni tenaga honorer yang mendapatkan gaji dari dana APBD/APBN, sedangkan honorer K2 mendapatkan gaji dari non APBD/APBN atau digaji dari dana komite dan dana bos.
Berita ini bersumber dari DPR RI
0 Komentar